MAIN BAR 3 IKLAN

close
Klik 2x untuk menutup(x)
SELAMAT DATANG DI WEBSITE WARGA UPADAYA BOGOR

WARGA UPADAYA BOGOR

- WARGA UPADAYA BOGOR - JL. PAHLAWAN I No. 28 Bondongan - Menghormati HAK ANAK adalah KEWAJIBAN, Bukan PILIHAN -

Kamis, 22 Agustus 2019

Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Era Digital



Pendidikan anak usia dini menjadi sebuah keharusan yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya, artinya sejak usia 0-5 tahun anak berada dalam masa pertumbuhan yang optimal, fisik anak di usia tersebut harus distimulasi dengan baik, baik motorik nya maupun psikomotorik nya. salah satu kegiatan yang dapat merangsang perkembangan anak usia dini adalah dengan bermain, mengenal warna, belajar menyusun benda atau belajar berkomunikasi dengan orang dewasa. 

Proses perkembangan anak di usia dini sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, apabila ada keterlambatan akan sangat berpengaruh negatif pada pertumbuhan anak, hal ini bisa dilihat dengan menimbang berat dan tinggi anak serta memberikan asupan yang cukup bagi anak agar perkembangan fisik dan kemampuan motorik dan kondisi perkembangan emosi anak.

Sebagai orang tua, kita memang selayaknya memberikan perhatian penuh untuk perkembangan putra dan putri kita sejak kecil, prinsipnya anak adalah aset masa depan yang harus benar dalam mendidik dan mendampingi perkembangan anak, teringat pernyataan psikologi anak Elly Risman saat kita kehilangan orang tua, kita kehilangan kenangan masa lalu, tapi ketika kita gagal mendidik anak berarti kita kehilangan masa depan. artinya begitu pentingnya mendidik dan menjamin tumbuh kembang anak demi masa depan anak.

Sejalan dengan perkembangan jaman, mendidik anak menuntut orang tua juga menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. mungkin sebagai orang tua kita dahulu dididik oleh orang tua kita untuk mengurangi nonton TV saat jam jam belajar atau saat mengaji, apakah hal itu masih bisa diterapkan dengan perkembangan jaman saat ini, tentu tidak, karena mungkin 5-10 tahun ke depan semua sudah berganti lagi karena perkembangan teknologi memberikan akses luas bagi anak untuk mendapatkan akses ke hal hal baru seperti "gadget yang sudah di tangan", tidak bijak pula jika kita menutup diri dengan teknologi dan informasi, begitu pula tidak bijak pula kita membuka luas tanpa pengawasan orang tua.

Hal yang paling penting dalam mendidik anak di era digital seperti saat ini adalah menjadi orang tua yang bertanggung jawab, sekolah atau madrasah hanya tempat untuk membantu orang tua dalam mendidik dan mengajar anak, dengan keterbatasan yang dimiliki orang tua hendaknya orang tua meminta pihak lain seperti Guru, Guru ngaji, ustadz nya untuk mendidik dan konsultasi mengenai pendidikan terbaik untuk anaknya. selain itu harus ada kerja sama antara orang tua dan sekolah, dimana tidak jarang kita temui sekolah memberikan tugas yang mengharuskan anak mengakses internet, yang akhirnya anak meminta gadget untuk pembelajarannya padahal pihak sekolah tidak meminta sampai membeli gadget. hal ini harus disepakati dan dikomunikasikan antara orang tua dan pihak sekolah agar nilai nilai yang ada di sekolah dan keluarga menjadi sinergi dan berintegrasi dalam mendidik anak di sekolah maupun di rumah.

Selain itu saat di rumah, diperlukan juga sinergi antara kedua orang tua. pengasuhan bukan tugas salah satu pihak saja. bukan hanya tugas ibu atau tugas ayah, namun harus sama sama kompak dan memiliki tugas dalam hal pengasuhan dan mendidik anak.  berbeda dengan kondisi single parent yang memang menuntut salah satunya (Ibu atau Bapak) memiliki peran penuh dalam mendidik dan memberikan pengasuhan yang baik bagi anak.

Hal yang paling penting dalam mendidik anak di era Cyber ini adalah menjadi orang tua yang bersahabat dengan anak, menjadi orang tua yang terbuka, memperhatiakan apa yang dilakukan anak dengan kesenangannya, yang paling penting jangan halangi anak dengan teknologi namun bijaklah dalam menghadapi anak. jadilah sahabat yang bersedia menerima curhatan anak atau mendengan apa keinginan anak, dan arahkan anak kepada hal hal positif. melaluii komunikasi dan pendekatan tanamkan nilai nilai yang baik bagi anak dalam mengatur diri di era digital seperti sekarang ini.

Di jaman seperti sekarang ini, menjadi orang tua bagi anak memiliki tantangan yang luar biasa, dengan sifat keingintahuan anak dan penasarannya serta adanya tuntutan mengikuti perkembangan jaman, orang tua dituntut menjadi orang tua yang fleksibel dan harus lebih dekat dengan anak. jangan sampai anak berada di luar pengawasan orang tua yang menjadikan anak bebas tanpa saringan dari orang tua. hal ini akan berpengaruh besar pada kebiasaan dan dampaknya di masa perkembangan anak sampai ia dewasa nanti.

Jadilah keluarga yang memiliki "Family Time" dimana ada jadwal atau waktu-waktu khusus tanpa gadget di keluarga. dan di waktu-waktu itulah ciptakan interaksi positif dengan anak dan keluarga seperti masak bersama, makan bersama atau bermain dan belajar bersama anak. tidak jarang kita temui satu keluarga yang sibuk dengan gadegt masing masing tanpa ada interaksi di dalamnya. jadi situasi dalam keluarga menjadi hal utama dalam menjadikan keluarga sebagai pusat pendidikan dan mendukung pertumbuhan serta perkembangan anak. keluarga yang terbaik adalah keluarga yang anak anaknya terdidik dan jaminan perkembangan anaknya langsung oleh orang tua yang bertanggung jawab.

#appletreebsd

Rabu, 14 Agustus 2019

KDRT BUKAN LAGI RANAH PRIVAT, SEGERA LAPORKAN JIKA ANDA MENEMUKAN KASUSNYA!



KDRT BUKAN LAGI RANAH PRIVAT,
SEGERA LAPORKAN JIKA ANDA MENEMUKAN KASUSNYA!
Related image
Tidak ada seorang pun di dunia ini yang sejak dilahirkan berniat untuk melakukan kekerasan, baik terhadap suami, istri, anak, bahkan anggota keluarga lainnya. Meski sudah ada sejak lama, namun mengapa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) hingga kini masih terus terjadi? Tujuan menikah dan membina rumah tangga yang seharusnya mulia, namun dalam perjalanannya diwarnai berbagai bentuk kekerasan. Bahkan tidak jarang menimbulkan korban.
Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) sebenarnya telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga guna menyikapi maraknya fenomena KDRT yang terjadi di masyarakat. Pemerintah menilai setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Selain itu, korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Beberapa isi pasal yang penting untuk diketahui masyarakat dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, yaitu :
  • Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
  1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
  2. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
  • Pasal 2
  1. Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi: (a). suami, isteri, dan anak; (b). orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau (c). orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
  2. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

  • Pasal 4
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan : (a). mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; (b). melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; (c). menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan (d). memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

  • Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : (a). kekerasan fisik; (b). kekerasan psikis; (c). kekerasan seksual; atau (d). penelantaran rumah tangga.

Asisten Deputi Bidang Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kemen PPPA, Usman Basuni menegaskan KDRT bukanlah persoalan privat / domestik yang tidak boleh diketahui orang lain. “KDRT merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Untuk itu, UU PKDRT merupakan jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya KDRT, menindak pelaku, dan melindungi korban,” tutur Usman. 
Data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2016 menunjukkan bahwa 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan fisik dan seksual, serta 6 dari 10 perempuan mengalami KDRT. Dalam diskusi dengan wartawan di Jakarta, Jumat (9/3), Usman Basuni menyebutkan Indonesia menempati peringkat nomor empat negara dengan kasus KDRT tertinggi pada 2016 lalu. Ia mengatakan ada banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya KDRT, diantaranya rendahnya tingkat pendidikan, ekonomi, perselingkuhan, perebutan hak pengasuhan, balas dendam, penyalahgunaan narkoba / miras, perbedaan karakter budaya, dan kurangnya persiapan pasangan sebelum menikah, baik dari sisi fisik, mental, dan psikologis sehingga pondasi rumah tangga ketika terjadi permasalahan tidak kuat.  
Guna menyikapi tingginya kasus KDRT di Indonesia, Kemen PPPA menginisiasi berbagai program, diantaranya rumah tangga tangguh. Kemen PPPA mengubah target mengedukasi pasangan-pasangan yang sedang mempersiapkan pernikahan (pra nikah) untuk mencegah tindakan kekerasan yang akhirnya berujung perceraian. Rumah tangga tangguh diharapkan dapat melahirkan anak-anak yang berkualitas sebagai generasi penerus bangsa. Usman meyakini dibutuhkan kerjasama semua pihak untuk mendukung program keluarga tangguh, meningkatkan pendidikan, pengetahuan, dan mengubah pola pikir pasangan yang akan menikah tentang konsep keluarga harmonis. Jika memungkinkan, Kemen PPPA juga akan melakukan edukasi sejak dini kepada anak-anak sekolah, terutama remaja puteri sebagai persiapan untuk menjalani kehidupan pernikahan dan rumah tangganya kelak.
Usman Basuni menghimbau kepada semua pihak untuk berani melaporkan kekerasan yang dialami dalam bentuk apapun. “Libatkan pihak ketiga dalam proses mediasi ketika terjadi permasalahan, jika tidak bisa ditangani, segera laporkan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak atau pihak kepolisian. Jangan menunggu hingga kasusnya terlalu fatal sehingga sulit untuk diselesaikan. Catatkan pernikahan Anda di Kantor Urusan Agama (KUA) agar bisa dilindungi oleh negara berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku,” tutup Usman.

           

Perempuan Rentan Jadi Korban KDRT, Kenali Faktor Penyebabnya

...
Sahabat perempuan dan anak, fenomena kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap kaum perempuan di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Menyikapi hal tersebut pemerintah terus berupaya menangani kasus KDRT yang tingkat terjadinya sangat tinggi di Indonesia, salah satunya dengan melakukan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2016 untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga serta apa saja faktor penyebab tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa kaum perempuan, khususnya dalam kekerasan fisik dan seksual, untuk mencari jalan keluar dalam menangani masalah tersebut.

Bentuk-Bentuk Kekerasan Pada Perempuan
Hasil SPHPN 2016 mengungkapkan beberapa jenis kekerasan yang dialami perempuan berumur 15-64 tahun baik oleh pasangan maupun bukan pasangan dalam periode 12 bulan terakhr maupun semasa hidup. Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami perempuan diantaranya yaitu kekerasan fisik, meliputi tindakan memukul, menampar, menendang, mendorong, mencengkram dengan keras pada tubuh pasangan dan serangkaian tindakan fisik lainnya. 18,3% perempuan yang sudah menikah dengan jenjang usia 15-64 tahun telah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual. Kekerasan fisik mendominasi kasus KDRT pada perempuan yaitu sebesar 12,3% dibandingkan kekerasan seksual sebesar 10,6% (SPHPN, 2016).
Kekerasan emosional atau psikologis, bentuknya meliputi tindakan mengancam, memanggil dengan sebutan yang tidak pantas dan mempermalukan pasangan, menjelek-jelekan dan lainnya. Sebanyak 1 dari 5 perempuan yang sudah menikah pernah mengalami kekerasan emosional yakni sebesar 20,5%.

Sedangkan untuk kekerasan ekonomi, dapat berupa meminta pasangan untuk mencukupi segala keperluan hidupnya seperti memanfaatkan atau menguras harta pasangan. Sebanyak 1 dari 4 perempuan juga mengalami kekerasan ekonomi atau sebesar 24.5%. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat maka tingkat kekerasan yg dialami perempuan semakin rendah.
Bentuk kekerasan lainnya yaitu kekerasan seksual seperti memeluk, mencium, meraba hingga memaksa untuk melakukan hubungan seksual dibawah ancaman. Angka kekerasan seksual dalam KDRT pada perempuan yaitu sebesar 10,6%.
Kekerasan selanjutnya yaitu pembatasan aktivitas oleh pasangan, kekerasan ini banyak menghantui perempuan dalam kehidupan rumah tangganya, seperti pasangan yang terlalu posesif, terlalu mengekang, sering menaruh curiga, selalu mengatur apapun yang dilakukan, hingga mudah marah dan suka mengancam. Kekerasan ini merupakan jenis kekerasan yang paling sering dialami perempuan yang sudah menikah, hingga mencapai 42,3%.
Berdasarkan data jumlah bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi pada perempuan diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan yang paling sering dialami kaum perempuan, yaitu pembatasan aktivitas, disusul oleh kekerasan ekonomi, kemudian kekerasan emosional/psikis, lalu kekerasan fisik dan terakhir kekerasan seksual.
Faktor-Faktor Penyebab KDRT
Sahabat, tahukah anda apa saja faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya KDRT khususnya secara fisik dan seksual terhadap perempuan oleh pasangannya? Berdasarkan hasil SPHPN Tahun 2016 mengungkapkan terdapat 4 (empat) faktor penyebab terjadinya kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap perempuan yang dilakukan oleh pasangan yaitu faktor individu, faktor pasangan, faktor sosial budaya, dan faktor ekonomi.

Faktor individu perempuan, jika dilihat dari bentuk pengesahan perkawinan, seperti melalui kawin siri, secara agama, adat, kontrak, atau lainnya perempuan yang menikah secara siri, kontrak, dan lainnya berpotensi 1,42 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang menikah secara resmi diakui negara melalui catatan sipil atau KUA.
Selain itu, faktor seringnya bertengkar dengan suami, perempuan dengan faktor ini beresiko 3,95 kali lebih tinggi mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual, dibandingkan yang jarang bertengkar dengan suami/pasangan. Perempuan yang sering menyerang suami/pasangan terlebih dahulu juga beresiko 6 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah menyerang suami/pasangan lebih dahulu.
Faktor pasangan, perempuan yang suaminya memiliki pasangan lain beresiko 1,34 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang suaminya tidak mempunyai istri/pasangan lain. Begitu juga dengan perempuan yang suaminya berselingkuh dengan perempuan lain cenderung mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2,48 kali lebih besar dibandingkan yang tidak berselingkuh.
Disamping itu, ada pula perempuan yang memiliki suami menggangur beresiko 1,36 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang pasangannya bekerja/tidak menganggur. Faktor suami yang pernah minum miras, perempuan dengan kondisi suami tersebut cenderung 1,56 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang suaminya tidak pernah minum miras. Begitu juga dengan perempuan yang memiliki suami suka mabuk minimal seminggu sekali, beresiko 2,25 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah mabuk.
Perempuan dengan suami  pengguna narkotika beresiko mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2 kali lebih besar dibandingkan yang tidak pernah menggunakan narkotika. Perempuan yang memiliki suami pengguna narkotika tercatat 45,1% mengalami kekerasan fisik, 35,6% mengalami kekerasan seksual, 54,7% mengalami kekerasan fisikdan/seksual, 59,3% mengalami kekerasan ekonomi, 61,3% mengalami kekerasan emosional/psikis, dan yang paling tinggi yaitu 74,8% mengalami kekerasan pembatasan aktivitas. Selain itu faktor suami yang pernah berkelahi fisik dengan orang lain, perempuan dengan suami kondisi ini beresiko 1,87 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah berkelahi fisik.

Faktor ekonomi, perempuan yang berasal dari rumahtangga dengan tingkat kesejahteraan yang semakin rendah cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan. Perempuan yang berasal dari rumahtangga pada kelompok 25% termiskin memiliki risiko 1,4 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dibandingkan kelompok 25% terkaya. Aspek ekonomi merupakan aspek yang lebih dominan menjadi faktor kekerasan pada perempuan dibandingkan dengan aspek pendidikan. Hal ini paling tidak diindikasikan oleh pekerjaan pelaku yang sebagian besar adalah buruh, dimana kita tahu bahwa tingkat upah buruh di Indonesia masih tergolong rendah dan hal ini berdampak pada tingkat kesejahteraan rumahtangga.
Faktor sosial budaya, seperti timbulnya rasa khawatir akan bahaya kejahatan yang mengancam. Perempuan yang selalu dibayangi kekhawatiran ini memiliki risiko 1,68 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan, dibandingkan mereka yang tidak merasa khawatir. Perempuan yang tinggal di daerah perkotaan memiliki risiko 1,2 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dibandingkan mereka yang tinggal di daerah perdesaan
Dari sekian banyak faktor yang memicu terjadinya KDRT, perlu kita pahami bahwa pentingnya konsep kesetaraan dalam keluarga adalah kunci dalam menghentikan tindak KDRT. Dalam keluarga terbagi peran-peran yang dijalankan oleh laki-laki dan perempuan dimana peranan ini menentukan berbagai pengambilan keputusan, serta nilai-nilai luhur termasuk nilai kesetaraan dan keadilan gender yang ditanamkan. Nilai-nilai ini semestinya bisa dikomunikasikan di awal pembentukan keluarga yakni pada jenjang pernikahan. Perlu adanya komitmen yang kuat yang terbangun baik dalam pribadi laki-laki maupun perempuan, untuk mengemban semua konsekuensi yang hadir ketika formasi keluarga telah terbentuk. Komitmen yang telah terbentuk tersebut diharapkan mampu membangun komunikasi dua arah di antara suami dan istri yang berimplikasi pada keutuhan keluarga, sehingga kasus KDRT pun dapat tereliminasi.
Perlu kita pahami bersama bahwa, hubungan suami istri, bukanlah hubungan “ Atasan dengan Bawahan” atau “Majikan dan Buruh” ataupun “Orang Nomor satu dan orang belakang”, namun merupakan hubungan pribadi-pribadi yang “demokratis”, pribadi-pribadi yang menyatu kedalam satu wadah kesatuan yang utuh yang dilandasi oleh saling membutuhkan, saling melindungi, saling melengkapi dan saling menyayangi satu dengan yang lain untuk sama-sama bertanggungjawab di lingkungan masyarakat dan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) sebenarnya telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga guna menyikapi maraknya fenomena KDRT yang terjadi di masyarakat. Pemerintah menilai setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Setiap warga negara, termasuk perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.

Menyikapi tingginya kasus KDRT di Indonesia, Kemen PPPA menginisiasi berbagai program, diantaranya rumah tangga tangguh. Kemen PPPA menyasar target edukasi pada pasangan-pasangan yang sedang mempersiapkan pernikahan (pra nikah) untuk mencegah tindakan kekerasan yang akhirnya berujung perceraian. Rumah tangga tangguh diharapkan dapat melahirkan anak-anak yang berkualitas sebagai generasi penerus bangsa, dibutuhkan kerjasama semua pihak untuk mendukung program keluarga tangguh, meningkatkan pendidikan, pengetahuan, dan mengubah pola pikir pasangan yang akan menikah tentang konsep keluarga harmonis. Kemen PPPA juga akan melakukan edukasi sejak dini kepada anak-anak sekolah, terutama remaja puteri sebagai persiapan untuk menjalani kehidupan pernikahan dan rumah tangganya kelak.
Pelibatan pihak ketiga dalam proses mediasi ketika terjadi permasalahan diperlukan, jika tidak bisa ditangani, segera laporkan ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) atau ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) atau ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Polres setempat. Jangan menunggu hingga kasusnya terlalu fatal sehingga sulit untuk diselesaikan. Catatkan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) agar bisa dilindungi oleh negara berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Sumber : https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1742/perempuan-rentan-jadi-korban-kdrt-kenali-faktor-penyebabnya

Artikel : 7 Tips Pengasuhan Anak di Era Digital dari Psikolog Elly Risman

Membesarkan anak di zaman millenial butuh usaha ekstra dibanding puluhan tahun yang lalu. Perkembangan dunia digital tak hanya memberi kemudahan, malah kadang membuat gap antara orangtua dan anak. Tak jarang berakhir dengan anak yang membangkang atau masalah lainnya. 

Psikolog dan Pendiri Yayasan Kita dan Buah Hati Elly Risman berbagi tujuh cara mengasuh anak di era digital yang bisa dipraktikkan agar hubungan antara orangtua dan anak tetap terjaga.

1. Tanggung Jawab Penuh
Ketika bicara mengenai pola asuh anak, peran seorang ibu seringkali dianggap hal paling utama. Padahal menurut Elly, sosok ayah dalam mendidik anak tak kalah penting. Di era digital seperti sekarang ini, ayah dan ibu harus memiliki pandangan yang sama, yaitu sama-sama bertanggungjawab atas jiwa, tubuh, pikiran, keimanan, kesejahteraan anak secara utuh. Masih banyak orangtua muda masa kini yang melepaskan anak-anaknya secara total di tangan orang ketiga, entah mertua atau pembantu. Namun jika hal ini terpaksa dilakukan, maka perlu dicek kembali bagaimana sejarah dari orang yang Anda rekrut untuk menjaga buah hati.


"Sebuah tesis pernah membahas mengenai peran ayah. Anak-anak yang kurang sosok ayah, dan dia punya anak laki dia nakal, agresif, narkoba, seks bebas. Anak perempuan biasanya depresi, seks bebas. Jadi ayah harus selalu ada, pulang kerumah di era digital," ujar Elly di Plaza Selatan, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (26/5/2016).

2. Kedekatan
Perlu adanya kedekatan antara ayah dan anak, juga ibu ke anak. Kedekatan ini bukan hanya berarti melekat dari kulit ke kulit, melainkan jiwa ke jiwa. Artinya, Anda dan pasangan tak bisa hanya sering memeluk sang anak namun juga harus dekat secara emosional. "Banyak anak yang tidak dapat hal itu dari kecil sehingga jiwanya hampa," tambah Elly.

3. Harus Jelas Tujuan Pengasuhan
"Dari riset yang saya lakukan untuk ibu 25-45 tahun, bekerja tak bekerja, ekonomi menengah ke atas dan menengah ke bawah. Mereka tidak punya tujuan pengasuhan. Mereka tidak tahu anak ini mau di bawa ke mana?"

Elly menyarankan agar orangtua mulai merumuskan tujuan pengasuhan sejak anak dilahirkan. Perlu membuat kesepakatan bersama suami, prioritas apa saja yang diberikan kepada anak dan bagaimana cara pendekatannya.

4. Berbicara Baik-baik
Orangtua harus belajar berbicara baik-baik dengan anak. Tidak boleh membohongi, lupa membahas keunikan anak, dan juga perlu membaca bahasa tubuh, serta mau mendengar perasaan anak.

"Menyalahkan, memerintah, mencap, membandingkan, komunikasi seperti ini akan membuat anak merasa tak berharga, tak terbiasa memilih dan tak bisa mengambil keputusan." 

5. Mengajarkan Agama
Menjadi kewajiban orangtua untuk mengajarkan anak-anaknya tentang agama. Pendidikan tentang agama perlu ditanam sejak sedini mungkin. Dalam hal ini, mengajarkan agama tak hanya terbatas ia bisa membaca Al-Qur'an misalnya, bisa berpuasa atau pergi ke gereja. Orangtua perlu menanamkan secara emosional agar anak menyukai aktivitas itu. 

"Jangan kosong dan lalu dimasukkan ke sekolah agama. Tidak ada dasarnya jika begitu. Bisa dan suka itu berbeda. Bisa hanya sekadar melakukan, tapi jika suka, ada atau tidak ada orangtua dia akan tetap baik," tuturnya.

6. Persiapkan Anak Masuk Pubertas
Kebanyakan orangtua malu membicarakan masalah seks dengan anak dan cenderung menghindarinya. Menurut Elly, pembicaraan justru perlu dimulai sejak dini dengan bahasa yang mengikuti usianya. 

"Kalau sudah keluar air mani, sudah menstruasi, itu artinya mereka sudah aktif secara seksual dan sudah telat untuk menanamkan tentang pemahaman seks. Ya jadi suka-sukanya anak, dia bebas melakukan berbagai macam hal," tambah Elly.

7. Persiapkan Anak Masuk Era Digital
Bukan berarti Anda harus memberikannya gadget sejak bayi. Namun mengajarkan anak jika penggunaan gadget ada waktunya dan memiliki batasan untuk itu. Akses internet pun perlu dibatasi untuk mencegah anak melihat situs yang tidak diinginkan. 

"Ajarkan mereka untuk menahan pandangan, menjaga kemaluan. Karena jika otakmu rusak, kemaluanmu tidak bisa dikendalikan. Jika kita tidak membicarakan, anak tidak tahu bagaimana akan bersikap." tuturnya.

Kedepankan komunikasi sebagai pengganti gadget. Sebagai contoh, ajak anak bicara tiap kali pulang sekolah. Hal-hal di sekolah seperti tugas menumpuk, teman jahil atau guru menyebalkan sudah menjadi hal berat untuknya. Oleh karena itu, Elly menyarankan untuk berkomunikasi tentang perasaannya. Misalnya tanya perasaannya di hari itu, apa yang membuatnya bahagia dan apa yang membuatnya sedih. Dengan begitu, secara otomatis anak akan dengan mudah bercerita pada Anda tiap kali ia merasakan sesuatu. 

"Ketika anak dibatasi dia pegang gadget, orangtua perlu beri alternatif lain. Tidak bisa kalau ibu atau ayahnya tidak di rumah. Contohnya ikuti les berenang, main basket, futsal, gitar atau apa yang disukai anak," pungkas Elly. (asf/asf)



Rabu, 07 Agustus 2019

5 Cara Sederhana Mengajari Anak tentang Makna Kemerdekaan

Image result for anak dan kemerdekaan
Masa tumbuh kembang anak adalah waktu yang tepat untuk mengajarinya tentang makna kemerdekaan. Dengan mengetahui makna kemerdekaan yang sesungguhnya, anak akan belajar mencintai negaranya, memiliki rasa nasionalisme dan patriotisme, serta menghormati dan menghargai jasa para pahlawan yang gugur untuk memperjuangkan kemerdekaan RI. Sikap-sikap tersebut dapat membantu si kecil tumbuh menjadi pribadi yang baik.

Nah, bertepatan dengan hari kemerdekaan RI, Anda dapat mengajari si kecil untuk mengenal lebih dalam tentang arti kemerdekaan melalui kegiatan sederhana berikut ini.
  • Menonton Upacara Kemerdekaan Di Televisi
    Menonton siaran langsung upacara kemerdekaan yang disiarkan di hampir seluruh stasiun TV nasional mungkin terasa membosankan bagi si kecil. Akan tetapi, Anda bisa menjelaskan makna di balik upacara tersebut. Upacara kemerdekaan dilaksanakan untuk merayakan kemerdekaan Indonesia yang kita rasakan saat ini sekaligus sebagai bentuk syukur atas jasa para pahlawan dan pejuang yang mempertaruhkan nyawa untuk meraih kemerdekaan. Anda bisa memberikan penjelasan kepada si kecil saat menonton prosesi upacara kemerdekaan tersebut. Dengan kegiatan ini, diharapkan si kecil dapat belajar mencintai dan menghargai perjuangan pahlawan dan pejuang nasional kita.
  • Memasang Bendera Merah Putih di Tiang
    Libatkan si kecil pada saat Anda hendak memasang bendera merah putih di tiang. Sementara Anda menurunkan tiang, mintalah si kecil untuk mengikat tali bendera di lubang yang tersedia pada tiang. Selain mengajarkan si kecil tentang arti di balik warna bendera merah putih, kegiatan ini juga bisa melatih keterampilan motorik halus jari-jari tangan si kecil.
  • Menyanyikan Lagu Kebangsaan
    Mungkin si kecil sudah hapal lagu-lagu kebangsaan karena ia rutin mengikuti upacara bendera di sekolahnya, tapi tak ada salahnya Anda mengajak si kecil untuk menyanyikan kembali atau mendengarkan lagu-lagu kebangsaan. Sambil menyanyi atau mendengar lagu kebangsaan, Anda dapat menjelaskan makna yang terkandung di balik setiap lagu tersebut. 
  • Menghapal Nama-Nama Pahlawan
    Menghapal nama-nama pahlawan sambil mengenali setiap wajahnya adalah cara lain untuk mengajarkan tentang makna kemerdekaan pada si kecil. Cara ini akan membantu si kecil mengenal para tokoh pahlawan yang pernah berjuang bagi kemerdekaan bangsa Indonesia. 
  • Dorong Si Kecil untuk Mengikuti Perlombaan
    ​Salah satu cara untuk merayakan kemerdekaan adalah dengan aktif mengikuti perlombaan di sekolah atau komplek tempat tinggal. Beri pengertian pada si kecil bahwa ini adalah salah satu cara untuk mensyukuri kemerdekaan yang ia rasakan saat ini. 
Dengan mengenalkan makna kemerdekaan melalui kegiatan-kegiatan sederhana di atas, Anda tak hanya memberinya motivasi untuk menghargai perjuangan para pahlawan Indonesia, tetapi juga membantunya menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotisme yang kini mulai pudar di kalangan anak-anak dan remaja. Selain membantunya menjadi pribadi yang lebih baik, dua sikap tersebut juga dapat menjadi bekal bermanfaat bagi kehidupannya kelak saat dewasa. Jadi, mari ajarkan makna kemerdekaan di masa tumbuh kembang anak. 

Sumber : https://www.tehsariwangi.com/artikel/5-cara-sederhana-mengajari-anak-tentang-makna-kemerdekaan 
di akses : 07.08.2019

Peta Wilayah Pelayanan Warga Upadaya

Form

close